A Great Masterpiece by Leila S. Chudori: Laut Bercerita
Setelah menghabiskan waktu lima hari untuk menyelesaikan 377 halaman novel karya Leila S. Chudori yang berjudul Laut Bercerita, ada dua kata yang terbesit dalam pikiranku, yaitu pain and traumatic. Dua kata yang menggambarkan reaksiku setelah menyelesaikan novel ini.
Novel ini ber-genre historical-fiction yang berlatarkan masa pemerintahan orde baru di Indonesia sekitar tahun 1991–1998. Buku ini punya dua point of view. Yang pertama pov dari seorang mahasiswa UGM jurusan sastra bernama Biru Laut, iya namanya Biru Laut. Makannya novel ini berjudul Laut Bercerita karena isinya cerita tentang Laut yang menolak pemerintahan orde baru dan memperjuangkan hak masyarakat dan demokrasi Indonesia.
Tokoh Laut ini digambarkan sebagai tokoh yang kritis terhadap sistem pemerintahan dan hak asasi manusia. Ketika dia akhirnya bertemu rekan yang sepemikiran, bisa berbagi pikirannya dengan yang lain, itu jadi momentum berharga bagi Laut untuk memperjuangkan apa yang benar. Akhirnya dia bergabung dengan kelompok kumpulan aktivis yang menentang sistem pemerintahan orde baru yang penuh dengan ketidakadilan bagi masyarakat menengah bawah, khususnya buruh.
Pokoknya dinovel ini bakal diceritain bagaimana perjuangan dia dan teman-temannya memperjuangkan keadilan. Dari mereka harus mencari rumah yang jauh dari jangkauan intel, kemudian perjuangan mereka untuk menuntut keadilan buruh yang berujung penangkapan secara paksa, mereka yang harus terus berpindah daerah untuk menghindari aparat karena masuk daftar pencarian orang, dan sampai akhirnya mereka diculik, disiksa dengan keji, dan dihilangkan secara paksa. Semuanya diceritakan dengan jelas, traumatic.
Yang kedua itu ada point of view dari adik Laut yang bernama Asmara. Kata pain menggambarkan cerita dari sisi Asmara. Di chapter ini bakal diceritain bagaimana menderitanya penyintas dan keluarga korban yang menghadapi ketidakpastian. Tidak pasti kabarnya apakah mereka yang belum pulang itu masih bernafas tetapi ditahan atau sudah mati. Bertahun-tahun mereka menghadapi itu dengan perasaan denial sampai akhirnya bisa ikhlas.
Semua orang sedih, tapi aku pribadi lebih sedih ngeliat Asmara karena dia gak punya waktu untuk mencurahkan emosinya dengan berlarut sedih mengenang kakaknya yang hilang. Kenapa? Baca aja bukunya hehe.
Baca buku ini juga serasa belajar sejarah karena memang semuanya based on history, dan sastra karena setiap diksi yang ada dibuku ini kaya puisi tapi tersampaikan dengan jelas. Selain itu aku suka buku ini karena tokoh perempuan yang ada disini, Kinan, Asmara, dan Anjani, digambarkan sebagai perempuan feminis.
Overall, penulis menceritakan setiap kejadian dengan jelas. Character development dan plot twist nya pun cukup menarik. Cuma memang ada beberapa yang menurut aku bisa diceritakan lebih jelas lagi, misalnya bagaimana pandangan dari seorang Kinanti karena dia memegang peran penting disini. Alurnya maju mundur jadi cukup butuh konsentrasi untuk baca Laut Bercerita.
Menurut aku buku ini worth to read banget, seengganya sekali seumur hidup. Buat aku cukup sekali seumur hidup karena gak mau ngerasain sakitnya dua kali, haha.
Segitu aja sih review buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori dari aku. Tapi sebelumnya mau nyelipin beberapa kutipan-kutipan yang aku suka dari buku ini, here we go:
“Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.”
“Subversif,” ujar Anjani sembari mengunyah mi dan senyumnya perlahan mengembang. “Aku ingin sekali perempuan tak selalu menjadi korban, menjadi subjek yang ditekan, yang menjadi damsel in distress….”
“Jika bukan karena kalian bertiga, aku tak akan menyadari betapa perempuan pencipta kehidupan, penggerak matahari dan peniup ruh kegairahan hidup.”
“Tetapi kemampuanmu mengingat berbagai hal yang terjadi itu terkadang agak mengerikan,” Mas Laut tersenyum, “karena itu, akan menyulitkanmu untuk menghapus segala sesuatu yang tak nyaman atau menyakitkan.”
“Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang meski hanya secercah, meski hanya di ujung lorong, demikian ujarnya. Tapi jangan pernah kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputusasaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia.”
“Jika jawaban yang kalian cari tak kunjung datang, jangan menganggap bahwa hidup adalah serangkaian kekalahan.”
“Pada saat itu, aku betul-betul disadarkan bahwa perempuan bukan hanya melahirkan lelaki (dan perempuan), tetapi mereka juga penyelamat kaum kami.”